Hari Bidan Nasional dan Misi Menjaga Kualitas Lulusan Bidan

Pandemi Covid-19 telah banyak memberikan dampak bagi warga dunia. Pemulihan ekonomi menjadi salah satu agenda pasca pandemi. Namun selain itu, salah satu yang juga perlu menjadi perhatian adalah Angka Kematian Ibu atau yang lebih dikenal dengan AKI. Pandemi menorehkan mimpi buruk bagi dunia kesehatan. Pada pertengahan 2021, saat gelombang Covid-19 mencapai puncak melalui penyebaran virus varian delta, kabar duka dan berkabung datang silih berganti. Ambulance hilir mudik di jalan, bendera kuning tertancap di tiang-tiang gang, tanah makam penuh dengan batu nisan.

Varian delta menyumbang angka kematian yang sangat tinggi, termasuk bagi Angka Kematian Ibu. Dilansir dari mediaindonesia.com (dalam artikel: Angka Kematian Ibu Membludak Selama Pandemi, terbit 29 Desember 2021), data menunjukkan bahwa AKI pada tahun 2021 mencapai 6.865 orang, jauh lebih tinggi dibandingkan tahun 2019 yang mencapai 4.197 orang.

Angka tersebut adalah mimpi buruk bagi Indonesia. Bahkan tanpa pandemi pun, AKI di Indonesia masih dinilai tinggi. Kementerian kesehatan dalam hal ini sangat menaruh perhatian untuk menekan AKI melalui kedokteran dan kesehatan termasuk di dalamnya kebidanan. Bidan adalah salah satu sosok yang berperan penting dalam upaya menekan angka kematian ibu dan anak. Kekhususan bidan dalam menangangi siklus reproduksi wanita menjadi ujung tombak kesehatan ibu dan anak.

Dalam perkembangannya, kebidanan telah melalui sejarah panjang. Sekolah kebidanan yang banyak dikenal orang tentu adalah pendidikan kebidanan yang saat ini telah berkembang pesat sejak pertama kali didirikan pada 1996 oleh Pemerintah Indonesia masa Orde Baru. Namun sekolah bidan tersebut bukanlah yang pertama. Semua berawal pada tahun 1811, saat Nusantara masih dikuasai kolonialisme Belanda. Seorang pejabat VOC yang bernama Daendels, dengan nama lengkap Herman Willem Daendels, mendirikan Sekolah Bidan pertama di Batavia (saat ini bernama Jakarta) karena melihat banyak ibu dan bayi yang meninggal tanpa perawatan kesehatan.

Banyaknya ibu dan bayi yang meninggal disebabkan oleh adanya sistem kepercayaan masyarakat lokal pada saat itu yang mengandalkan ilmu seorang dukun beranak. Setelah adanya Sekolah Bidan garapan Daendels, tidak serta-merta menurunkan angka kematian ibu dan bayi. Tentu itu persoalan yang masih berlanjut hingga masa kolonialisme berakhir (bahkan hingga saat ini). Pergantian pemerintahan yang saat itu masih dikuasai VOC juga menjadi salah satu faktor tidak berlanjutnya program Daendels dalam mencetak bidan untuk menekan angka kematian ibu dan bayi.

Cerita tentang pendidikan kebidanan kemudian berlanjut pada masa Orde Baru. Pemerintah yang saat itu dipimpin oleh Soeharto, menaruh perhatian pada angka kematian ibu dan bayi. Oleh karenanya dibuatlah sistem pendidikan kebidanan untuk mencetak bidan-bidan profesional demi terwujudnya kesehatan ibu dan bayi.

Dalam rangka Hari Bidan Nasional yang diperingati setiap tanggal 24 Juni, Wakil Dekan II Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Jakarta yang telah memakan asam dan garam kebidanan, yakni Dr. Fatimah, S.ST., MKM. Ia menjelaskan perkembangan dunia kebidanan di Indonesia.

Sebagai saksi perkembangan pendidikan kebidanan, Fatimah tahu betul bagaimana proses sekolah kebidanan mulai dibangun oleh Pemerintah Indonesia untuk menekan angka kematian ibu dan anak. “Dulu, kebutuhan bidan cukup tinggi. Kalau di bidang kesehatan, bidan adalah ujung tombak atau garda terdepan dalam menurunkan angka kematian ibu dan anak,” ungkap Fatimah saat ditemui di Gedung FKK UMJ, Senin (13/06).

Fatimah memiliki keyakinan bahwa angka kematian ibu dan anak seharusnya nol per seratus ribu kelahiran. “Makanya saat itu dukun beranak masih banyak sekali. Pendidikan kebidanan itu adalah program pemerintah untuk menurunkan angka kematian ibu. Saat itu yang boleh membuka program kebidanan adalah rumah sakit,” ujar Fatimah.

Pendidikan kebidanan berawal dari akademi kebidanan di bawah rumah sakit, termasuk Program Studi Kebidanan UMJ yang berasal dari Akademi Kebidanan Rumah Sakit Islam Jakarta. Hal tersebut dimaksudkan agar lulusan kebidanan dapat langsung mengabdi di rumah sakit. Fatimah juga bercerita bagaimana ketatnya persyaratan seleksi masuk kebidanan. Menurutnya syarat-syarat yang dimaksud disesuai dengan kebutuhan bidan. Misalnya tinggi dan berat badan, syarat tersebut tidak serta-merta dimunculkan, melainkan sudah disesuaikan dengan alat bantu praktek yang akan digunakan oleh bidan selama melakukan pelayanan pada pasien. Jika syarat tersebut dilanggar, maka proses pelayanan kesehetan akan terkendala. Salah satu contoh adalah tinggi badan bidan disesuaikan dengan tinggi meja pasien, oleh karenanya jika tinggi badan kurang, maka bidan akan kesulitan dalam membantu proses persalinan. Alasan yang sangat rasional dan syarat yang sangat proporsional tersebut semestinya tidak boleh dilanggar, sebab akan berdampak pada proses pelayanan pada pasien yang berujung pada keselamatan pasien (ibu dan bayi).

Fatimah bercerita bahwa profesi bidan sangat digemari oleh masyarakat, bahkan ia menyebutnya sebagai primadona. “Tahun 90an bidan itu primadona. Bayangkan saja di D3 Kebidanan RSIJ (Rumah Sakit Islam Jakarta), dari 750 orang pendaftar, yang diterima cuma 50 orang,” kata Fatimah.

Tugas seorang bidan meliputi pelayanan kesehatan ibu dan reproduksi perempuan, pelayanan keluarga berencana, pelayanan kesehatan bayi dan anak, dan pelayanan kesehatan masyarakat. Maka dari itu jumlah bidan harus menyesuaikan dengan angka ibu dan anak. Menurut Fatimah, kemampuan bidan tidak hanya terbatas pada keterampilan menggunakan phantom (boneka peraga), tapi harus terampil membantu pasien dengan tangan sendiri.

Seorang bidan harus memiliki iman, mental, fisik dan karakter yang kuat. Selain tantangan menghadapi kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap dukun beranak, perkembangan zaman juga memberikan tantangan yang lebih. Menurut Fatimah tantangan-tantangan tersebut harus dihadapi dengan dukungan dari pemerintah maupun organisasi yang menaungi bidan di Indonesia dalam hal ini Ikatan Bidan Indonesia (IBI). “IBI dan Pemerintah harus berkomitmen menjaga kualitas lulusan bidan. Karena lulusan bidan sekarang berbeda dengan lulusan bidan yang dulu. Tantangan bidan saat ini adalah harus bisa mempersiapkan bidan penerus yang tetap berkualitas,” ungkap Fatimah.

Dalam rangka mempertahankan kualitas lulusan bidan, Fatimah, yang pernah menjabat sebagai Ketua Prodi D3 Kebidanan UMJ (2011-2018) mejelaskan bahwa UMJ berkomitmen untuk meluluskan bidan yang berkarakter Muhammadiyah. Upaya tersebut dilakukan dengan menanamkan nilai-nilai Islam dan Muhammadiyah. “Menjadi bidan itu adalah panggilan, harus benar-benar membawa amanah. Menjadi bidan bukan untuk dunia saja, tapi juga akhirat,” kata Fatimah.

Lebih lengkap Fatimah menjelaskan selain soal akhirat, mahasiswa kebidanan UMJ juga diberikan pelajaran keagamaan yang kuat agar selama bertugas dapat memberikan bimbingan kesehatan dengan pendekatan agama. “Oleh karena itu bidan lulusan UMJ dipercaya rumah sakit, dipercaya masyarakat, karena bisa membimbing ibu berdoa selama persalinan dan aktifitas lainnya. Jadi paham agama,” lanjut Fatimah.

Harpan besar Fatimah agar pendekatan agama yang sampai saat ini masuk ke dalam kurikulum pendidikan kebidanan di UMJ tidak luntur, agar tetap menjaga kualitas lulusan kebidanan. Lulusan kebidanan saat ini akan menghadapi berbagai macam tantangan. Tantangan bidan saat ini dianggap lebih berat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, termasuk pandemi yang melanda dunia beberapa tahun ke belakang. Fatimah berharap Pemerintah, IBI dan institusi pendidikan yang menaungi program kebidanan dapat bersinergi untuk tetap menjaga kualitas lulusan profesi bidan dengan tetap memberlakukan syarat masuk calon mahasiswa kebidanan.

Dalam rangka memperingati Hari Bidan Nasional, Fatimah secara khusus mengungkapkan harapannya, “saya berharap bahwa bidan-bidan dapat menjaga profesionalisme dan kompetensi dari keilmuan bidan. Jangan merasa cukup belajar hanya sampai menjadi bidan, karena bidan ini adalah garda terdepan dari kesehatan ibu dan anak di masyarakat. Jadi, pemerintah juga mengharapkan betul bidan ini dapat membantu menurunkan angka kematian ibu. Saya berharap lulusan bidan, terutama lulusan UMJ bukan hanya kompeten di bidang keilmuannya, tapi akhlak juga harus sesuai dengan visi dan misi prodi kebidanan yaitu menjadikan bidan yang professional dan islami,” ungkap Fatimah. (DN/KSU)