Bidan Fatimah: Mendengar Tangisan Bayi adalah Kebahagiaan

Momen kelahiran seorang anak adalah saat-saat yang paling menegangkan, sebab pada saat itu seorang ibu bertaruh nyawa demi melahirkan nyawa baru. Momen menegangkan tersebut bisa berubah menjadi momen bahagia, haru bahkan sedih.

Saat seorang anak manusia lahir yang pertama kali terasa adalah suara tangisan yang bisa didengar hingga radius tertentu. Di sebuah ruang persalinan misalnya, momen menegangkan bisa berubah menjadi kebahagiaan saat tangisan bayi mulai terdengar. Begitupula yang dirasakan oleh Dr. Fatimah, S.ST., MKM. Seorang bidan yang saat ini memegang amanah sebagai Wakil Dekan II Fakultas Kedokteran dan Kesehatan UMJ. Masyarakat sekitar rumahnya (yang sekaligus sebagai tempat praktek mandiri) mengenalnya dengan sapaan Bidan Fatimah.

Bidan kelahiran 3 November 1965 ini telah memulai profesi kebidanan sejak awal pendirian akademi kebidanan di Indonesia. Senin (13/06), penulis berkesempatan menemui Bidan Fatimah untuk mendengarkan cerita tentang kebidanan di Indonesia. Obrolan semakin asyik ketika Bidan Fatimah bercerita tentang kisah perjalanannya menjadi seorang bidan.

Siapa sangka bidan senior asal Tangerang ini memulai profesi bidan dari sekolah keperawatan. Berprofesi sebagai perawat menuntut Bidan Fatimah untuk bekerja dengan sistem shift. Pada saat itu, setelah lulus D3 Akademi Keperawatan di RSIJ, ia langsung bekerja di RSIJ sebagai perawat ICU. Bukan hal yang mudah baginya melalui hari di ruang ICU. Ia mengaku hampir setiap hari menangis karena sering melihat orang meninggal.

“Saya menangis di kamar mandi, karena setiap hari lihat orang meninggal. Suami minta saya berhenti (dari pekerjaan sebagai perawat), tapi saya sudah mencintai pekerjaan ini. Saya sudah punya kompetensi sebagai perawat ICU, karena perawat UGD, perawat bedah, perawat ICU, itu (kompetensi) berbeda-beda. Saya berdoa terus, yaa Allah berikan saya jalan keluar,” ungkap Ketua 2 AIPKIND Wilayah DKI Jakarta.

Selama 5 tahun, Bidan Fatimah menjadi perawat di ICU RSIJ. Menjalani kehidupan pekerjaan dengan 3 shift yang mengharuskan Bidan Fatimah untuk bekerja di malam hari, bahkan hingga jarang bertemu dengan suami dan anak-anaknya.

Kisah awal dimulainya babak kebidanan dalam hidup seorang Fatimah ialah ketika suatu malam perawat supervisi menawarkan aplikasi pendaftaran sekolah lanjutan. ‘Fat, mau sekolah lagi, nggak? Nanti kerjanya pagi terus. Pendaftarannya besok pagi. ‘Mendengar iming-iming bekerja pagi hari, Bidan Fatimah tertarik betul. Sekolah tersebut adalah Program Bidan B Akper Wijayakusuma, sebagai bagian dari upaya pemerintah pada saat itu dalam memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan. Pada malam itu juga, Fatimah yang statusnya masih sebagai perawat ICU di RSIJ segera mengisi penuh aplikasi dan menyiapkan kebutuhan pendaftaran. Fatimah tidak mau kehilangan kesempatan.

Keesokan hari, pagi-pagi sekali, Bidan Fatimah stand by di parkiran mobil, tepatnya di depan mobil dr. Sanusi Tambunan, Direktur RSIJ pada saat itu, untuk meminta tanda tangan sebagai syarat dokumen pendaftaran. “Dokter Tambunan itu tanda tangan di kap mobilnya. Hari itu juga saya antarkan formulir pendaftaran itu ke Dinas Kesehatan,” ujar Bidan Fatimah bercerita dengan gaya keibuannya.

Singkat cerita, bidan yang pernah menjadi Ketua Prodi D3 Kebidanan FKK UMJ ini berhasil lulus dalam ujian seleksi masuk. “Dari 100 lebih pendaftar, hanya 40 orang yang diterima. Saya tidak menyangka juga bisa diterima. Saya lihat yang ikut daftar itu pintar-pintar semua,” katanya.

Belajar 1 tahun di Program Bidan B tidak membuat Bidan Fatimah puas akan keilmuan. Ia kemudian meminta untuk ditugaskan di Bapelkes milik RSIJ yang berlokasi di Grogol, Jakarta Barat. Selama 1 tahun bertugas di Bapelkes RSIJ, Bidan Fatimah mendapat banyak pengalaman terkait pengelolaan pelayanan kesehatan. Pengalaman tersebut adalah modal yang cukup baginya untuk membuka praktek bidan mandiri.

Menurutnya, bidan harus memiliki fisik dan mental yang kuat. “Menjadi seorang bidan adalah hal yang bukan kebetulan, pasti sudah ditakdirkan. Saya memang masuk keperawatan itu dulu karena keinginan orang tua. Tapi lama-kelamaan saya punya kecintaan terhadap pekerjaan saya.”

Dulu, saya sehari praktek bisa bantu 5 persalinan. Baru mau selonjoran, sudah datang pasien baru. Capek. Tapi saya bahagia.

Lebih lanjut lagi bahkan Bidan Fatimah mengatakan bahwa amanah seorang bidan sangat berat, bukan hanya perkara dunia tapi juga akhirat. “Bidan itu dekat dengan hal-hal yang…” ia berhenti sejenak, seperti enggan melanjutkan. Dengan mimik muka yang sedikit menunjukkan rasa was-was, ia lanjutkan kalimatnya dengan volume suara yang lebih kecil, “…..abortus. naudzubillahimindzalik. Jangan sampai ada bidan yang seperti itu.”

Hal-hal seperti itu juga yang menuntut bidan memiliki keimanan dan karakter yang kuat. Bukan hanya mental dan fisik yang dibutuhkan dalam proses persalinan, namun dari dalam diri seorang bidan harus tertanam nilai-nilai keagamaan sehingga jauh dari hal-hal yang menjerumuskan bidan dan pasien ke dalam dosa.

Cerita semakin menarik saat Bidan Fatimah mengantarkan penulis pada kisah haru seorang bidan dalam membantu persalinan. “Mendengar tangisan bayi pada saat lahiran adalah kebahagiaan saya. Tangisan bayi itu kebahagiaan. Saya merasa berguna sekali,” kebahagiaan itu sampai saat ini masih terlihat dari sorot mata Bidan Fatimah saat bercerita, berusaha mengingat bayi-bayi yang menangis saat lahir.

Bayi yang menangis saat lahir adalah bayi yang dapat bertahan hidup. Tarikan napas pada saat menangis menandakan bahwa bayi memiliki pernapasan yang baik sebagai modal untuk bertahan hidup.

Kebahagiaan itu tidak berhenti di Bidan Fatimah, tapi tangis bayi yang baru lahir menularkan energi kebahagiaan pada suami dan anak-anaknya di rumah. “Kalau ada suara bayi nangis, mereka (suami dan anak-anak) pasti selalu ikut bahagia. Dan kalau misal ada pasien datang sore tapi tengah malam belum ada suara bayi nangis, pasti mereka turun ke bawah (ruang bersalin) untuk nanya memastikan ke saya. Mereka ikut khawatir.”

Kalau dia bisa nangis, berarti kan dia bisa bertahan hidup dan jadi ‘orang’.

Perihal tolong-menolong adalah salah satu prinsip yang dipegang teguh oleh Bidan Fatimah selama menjalani profesinya. Menjadi seorang bidan membuat Bidan Fatimah memiliki rasa empati yang sangat tinggi. Pernah suatu saat, seorang ibu yang selesai bersalin tidak dapat membayar biaya persalinan dan hanya bisa memberikan Bidan Fatimah setandan pisang. “Dulu belum ada BPJS, jaminan kesehatan juga tidak ada. Saya pernah dibawain setandan pisang, karena dia tidak bisa bayar. Tapi saya bahagia sekali,” dengan penuh penegasan dan penekanan. Kebahagiaan dan ketulusan itu terlihat dari bagaimana tutur kata dan mimik wajah Bidan Fatimah yang hangat.

“Bayi yang saat 1995 itu saya bantu persalinannya, sekarang sudah besar. Dia sudah melahirkan anak, artinya kan ibu yang saya bantu waktu itu sudah punya cucu. Pernah ketemu sama anak itu, dia tahu bahwa saya yang bantu ibunya melahirkan dia. Itu kebahagiaan bidan, apalagi bisa lihat anaknya jadi ‘orang’.”

Itu dia kebahagiaan saya. Alhamdulillah sampai hari ini bidan-bidan banyak didoakan oleh ibu-ibu yang persalinannya ditolong. (DN/KSU)